Selasa, 15 Juli 2008

feel...

Sebuah sajak berkisah tentang Matahariku
Saat ia terik, saat ia sayu
Saat sedikit demi sedikit cahaya bintang
Mengganti singgasananya
Angkasa ini adalah nyawaku
Dan saat mentari menjelmakan hatiku
Bintang perempuanku tersenyum sendu
Setinggi apapun, seterik apapun, ia ada
Suatu ketika malam akan menggantinya
Aku ingin kalbu sang hawa mngerti
Tentang pesona purnama yang tersembunyi
Karenanya...
Kutulis sajak tentang matahari egoku
Tentang bintang jiwaku
Purnamanya hidupku
Dan semesta kisahku

"be.."

Hati manusia takkan tahu segala nyawa selain Dia dan bisik kecil nurani saat sekejap memejamkan mata. Orang bilang Tuhan lain bernama “ambisi” memberhalai kalbu yang dengan sekuat hati ku tundukkan. Apakah belum cukup rasa yang dimiliki manusia hingga tiada satupun makluk yang menduai gelagatnya.
Sesuatu yang kuyakini Maha menjadi Sandar segala lemah makhluk, dan sebuah suara berkata padaku dalam hening malam ini. Apalah arti tawa dan air mata jika bukan karena sebuah kisah yang membuatnya ada. Juga menang dan kalah, bahkan kata benar dan salah.

alone...



Aku melukis sebuah rona hati dalam kata-kata. Dalam kepenatanku bersuara, dalam degup jantungku yang tak lagi berirama, dalam igauan yang meracau tanpa sadar tentang luapan jiwa.

Dari manakah datangnya sebuah ruh yang memaksaku sujud menghamba, tak hanya pada sang Kudus yang semestinya? Makhluk bernama cinta adalah jantung bagi darah Adam dan Hawa.

Oh.. aku muak dengan segala aksara. Aku bosan dengan indah majas dan metafora. Tapi aku harus bagaimana? Sedangkan setiap bait ini adalah anak sungai emosi yang mengalir pada sabda samudra hati.

Puisiku, ijinkan kau bercerita tentang jelitanya rindu, tentang semilir dan desau-desau haru akan hidupku,
Kisahku...
Nafasku,...
Langkahku...,
Matiku...,
Dan kau akan menjadi kiblat dalam kepongahan manusiawi. Agar kau mampu menghujatku, melempar cela dan sumpah, biarkan aku bicara pada kertas putih tanpa noda.

Sajakmu adalah jiwaku, Ia adalah paradise emosiku. Dan bagaimana Ia ada, aku tak pernah tahu, hanya saja goresan-goresan tinta ini adalah cermin bagi segala caci maki, dan kebencianku entah pada sosok dengan mata berkaca-kaca, atau perasaan aneh yang tak pernah kumengerti Ia apa, dan jemari yang memegang pena hingga tercipta berderet omong kosong tentang munafiknya sepi.

Pujangga itu adalah musafir dalam kedahagaannya akan pelampiasan beribu marah dan sedih, juga curiga serta prasangka. Mungkin aku adalah dia, meski hanya sementara. Ah...!! siapa yang begitu bodoh untuk menanti pagi sedang purnama sungguh indah begini?

Selasa, 01 Juli 2008

HAPPYNESS

Aku bertemu seorang peempuan. Ia mengaku bernama kesedihan. Saat kulihat ia hadir ke arahku, dan kubiarkan kami berkenalan, ternyata aku sedikit menyesal, karena ia begitu membuatku tidak nyaman. Dengan tangan kekecewaan yang menamparku tanpa ampun, dan sorot mata putus asa yang menghujam tepat dalam jantung manusiaku. Aku ingin ia pergi. Dan dengan sekuat hati aku berusaha mengusirnya. Tapi sayangnya, ia tak mudah untuk aku jauhi.

Sampai akhirnya kutemukan pula sosok yang serupa bernama bahagia. Sekilas wajah mereka sama. Awalnya aku bahkan mengira mereka adalah saudara kembar (antara kesedihan dan bahagia). Setelah sekilas aku mengenal kesedihan, dengan berusaha untuk adil, kuperkenalkan pula diriku pada bahagia. Dan... Oh Tuhan..!! Ia begitu indah, hingga akhirnya ia mengaku bahwa kesedihan adalah saudara kandungnya (tepat kan... dugaanku..?!).

Memang ada beberapa persamaan dari mereka. Kadang-kadang mereka sama-sama dapat membuatku meneteskan air mata, menjerit, bahkan melakukan hal-hal yang konyol lainnya. Tapi menurutku mereka berbeda. Itu awalnya... (Sebelum aku mengenal mereka lebih dekat lagi).

Aku selalu ingin menjauhkan diri dari kesedihan. Bagiku, sepertinya akan lebih menyenangkan saat aku bersahabat dengan temanku bahagia. Karena begitu kesedihan menyentuhku, ia selalu membuat hatiku sakit. Tapi anehnya, bahagia selalu saja membela saudaranya itu. Setiap kali bahagia datang padaku, dia selalu menceritakan tentang titik balik dari dirinya sendiri, yaitu kesedihan. Sepertinya mereka benar-benar saudara yang sangat akur,

Suatu ketika bahagia hendak pergi untuk sementara. Dia berkata padaku “Jaga dirimu baik-baik, dan tenang saja, kau tidak akan kesepian, karena saudaraku sewaktu-waktu akan datang padamu. Aku harap kita akan segera bertemu...” Lalu kukatakan padanya “Sebenarnya aku tak ingin kau pergi, daripada aku harus bersama dengan saudaramu kesedihan itu, lebih baik aku sendirian saja..”
“Katakan padaku..!! apa kau ingin mengenalku lebih jauh? Agar kau tahu jati diriku yang sebenarnya?” tanya bahagia. “Tentu saja !!” jawabku.
“Aku akan memberimu sebuah pilihan, kau akan mengenalku lebih jauh, dan dapat memilikiku selama apapun yang kau mau, asal kau beri waktu bagi saudaraku kesedihan untuk bersahabat denganmu, atau kau akan menyesal karena aku tak bisa lama berada di sisimu jika setiap saat bersamaku, kau selalu takut pada saudaraku itu.. Bagaimana?”
“Hm.. pilihan yang sangat sulit, tapi baiklah. Agar kau tahu bahwa aku benar-benar ingin kau selalu ada disisiku, aku akan mencoba saranmu, aku akan memberanikan diri untuk berada di dekat kesedihan, bahkan jika aku harus menyentuh tubuhnya.”

Awalnya aku merasa takut, ragu dan was-was saat bahagia mulai meninggalkanku, takut akan kesedihan yang aku benci. Tapi aku harus mencoba untuk menepati janjiku pada bahagia. Kubiarkan kesedihan hadir di dekatku. Meskipun kesedihan lebih sering membuatku menangis, dan selalu menyakitiku, aku mencoba untuk sabar padanya. Hingga suatu ketika aku bertanya kepadanya “Kenapa kau berbeda sekali dengan saudaramu, bahagia? Dan kenapa kau selalu membuatku sakit?”
Ia tersenyum padaku lalu menjawab “Hei... kata siapa aku selalu menyakitimu? Itu kan menurutmu. Apa kau tidak pernah sadar, bahwa kaulah yang selalu memandangku dengan cerminan dari saudaraku bahagia, Meskipun pakaian kami tak sama, meskipun bahagia tampak begitu indah bagimu, Dia tak kan pernah ada tanpa kau memandangku. Begitupun aku, kau tak akan memandang buruk aku jika bukan karena kau terlalu terpesona dengan penampilan saudaraku itu kan? Pernahkah kau menyadari bahwa sesungguhnya kami adalah saudara kembar? Jika kau memandangku seumpama sosoknya, maka aku adalah bahagia, sebaliknya jika kau selalu memandang buruk diriku, selamanya kau hanya akan mendapati bayang-bayang bahagia dari ketidak sukaanmu padaku.”
“Apa maksudmu?” tanyaku
“Sahabatku, jangan sampai kau terlalu terpesona dengan saudaraku bahagia tanpa menyadari bahwa ia punya saudara kembar yaitu aku, kesedihan. Bersyukurlah..!! dan pandanglah kami dengan adil. Jika suatu saat aku mendatangimu, maka adalah tugasku untuk megajarimu tentang jati diri bahagia, yaitu bagaimana caramu memandang diriku, seabagai dirinya, dengan begitu kau akan selalu mendapati sahabat faforitmu bahagia di dekatmu. Satu hal yang harus kau ingat, bahwa kami adalah saudara kembar...??!!”

Kurenungi kata-katanya, dan saat kucoba untuk memandang sorot mata kesedihan sebagai salah satu sisi dari bahagia, Ku dapati sahabat yang kurindukan itu memandang balik ke arahku...

Minggu, 22 Juni 2008

"..."

Tiada yang mampu menafsirkan makna sebuah kata, hanya bahasa angkasa yang membirukan setiap debaran hati, meronakan mata dan pipi setiap kali sayap malaikat yang berwujud cinta menorehkan rasa yang terukir di dasar nurani setiap nyawa.
Ia adalah rajawali bagi setiap bidadari yang memandangnya. Sebuah karya sempurna bagi pencipta yang maha bisa. Namun apa yang selalu diperbuat hati yang terselubung wujud Adam ini? Ia adalah manusia yang tunduk pada titah Tuannya, pemilik semesta raya.
“Wahai angkasa yang tak pernah berdusta, apa yang kau lukiskan dalam kalbuku? Seorang Hawa selalu membayangiku, membirukan setiap debaran dalam jantungku. Wahai angin yang mampu menembus Mega, bawalah salamku padanya.”
Ia, sang pria Rajawali itu telah menjatuhkan hati nuraninya pada seorang bunga muda yang kini bayangannya kerap menari pada ujung pelupuk mata sang Pujangga.
Angin menghela napasnya dan membelai tubuh kekar itu.
“Apa yang kau rajukkan anakku?Lihatlah! malampun turut akan kesedihanmu. Ia tiada berbintang dan tak pula berpurnama.” Sapa wanita paruh baya yang hampir dua puluh tahun memerah cintanya demi sosok yag kini terduduk diam, tepekur dalam kerinduannya.
“Ibu, apakah Cinta itu? Haruskah bersyukur aku sembah sujud pada sang Pencipta? Karuniakah ini ibu? Mengapa dada ini sesak jika terbuai mimpi akan wajah yang sekilas hadir itu ibu? Sungguh sangat sakit rasanya.”
“Nak impian itu adalah sebuah oase di padang ambisimu, kau dapat meraihnya jika kau percaya pada kuasa tanganmu untuk meraihnya. Begitipun cinta, tak akan bisa kau raih tanpa kau pijakkan kakimu ke arahnya.!”
Wanita itu berbalik muka dan meninggalkan lelaki itu sendirian.
****
Fajar meronakan wajah pagi, selaksa angan sang Adam yang membumbung tinggi. Laki-laki itu melenggang ke arah firdaus impiannya. Sebuah rumah megah dengan seribu rupa bunga yang memagarinya .
“Aku datang... “ kata sang lelaki pada pria paruh baya. Sosok seorang ayah yang teramat cinta pada anaknya.
“Apa kehendakmu pria miskin?”
“Aku ingin putrimu.. ”
“Apa yang kau bawa?”
“Aku membawa serta oase dalam padang ambisiku. Inilah impian dan cintaku!”
“Pergilah pemuda yang baik. Tak ada seorangpun manusia yang ingin menyakiti darah dan dagingnya, sedang ia yang kau pinta tak akan ku berikan hanya dengan omong kosong tentang mimpi dan cinta!”
“Aku mohon ampun bila datang, apa yang kau pinta wahai pemilik bidadari yang menghela pelangi dalam kalbuku? ”
“Anak muda, kau tak akan menginginkan oase di gurun pasir bukan? Karena ia tidak nyata, begitupun akan putriku, kau hanya sekilas bertatap muka padanya.”
“Jika paduka yang bijaksana percaya akan cinta, hamba adalah sahaya yang tunduk di depannya. Aku mencintai putrimu!”
Bapak tua itu tak memberi acuh pada sang Pemuda, ditinggalkannya pemuda itu dengan seribu gejolak akan kerinduannya. Pemuda itu kini berlutut di depan gerbang pujangga hatinya dengan sayu.
“Tuan, benarkah kau mencintainya?” Sahut seorang baya padanya.
“Dengan sepenuh kalbuku bibi, seluruh hayatku, dan segenap ragaku!”
“Kalau begitu kau tak kan keberatan memberikan sebuah ginjalmu padanya?Karena asal kau tahu, nyawanya ada di ujug pedang, Kau tak ingin ia beralih ke alam baka bukan?”
“Tentu tidak! Aku sangat mencintainya. Baiklah bibi, aku akan kembali ketika fajar mengalah pada mentari pada esok yang baru!”
Ibu baya itu tersenyum ramah, ketika sang pemuda beralih langkah meninggalkan belahan jiwanya.
***
Fajar yang dinantipun tiba, pemuda itu kembali dengan langkah pasti akan ketulusan hatinya. Bapak bijak itupun keluar untuk menemui pemuda itu lagi,
“Apa yang kau inginkan pemuda baik?” Tanyanya
“Aku ingin putrimu,”
“Jika kau bukan tuli, tak kan ku ulang kata-kataku, jawabku sama!”
“Tuan yang bijak, aku datang membawa oase dalam padang ambisiku, inilah impian cinta, dan ragaku!”
“Aku akan menyesali kata-katamu anak baik!”
“Tidak! Jika putrimu butuh ginjalku maka ambillah dan selamatkan ia dari ujung pedang maut yang hendak mengalihkannya ke alam baka!”
“Satu ginjalmu tak akan menggeser kakinya menjauh dari maut pemuda baik, putriku butuh lebih dari sebuah ginjal!”
Pemuda itu khusyuk dalam setiap kata-kata bapak bijak itu.
“Jika kau benar-benar mencintainya dan ingin mengalihkannya dari jurang maut dan memindahkannya ke peraduan hidup yang sempurna, kau harus memberikan nyawamu padanya!”
“Jika kau inginkan seluruh tubuhku tuan, Ambillah pedangmu dan hunuskan di sekujur tubuhku hingga aku bisa membawa putrimu ke peraduan indah itu!”
“Anakku, asal kau tahu saja, putriku bukan hanya butuh ginjal, tapi dia butuh hati dan kedua matamu... ” Ratap sang Ayah.
“Kiranya cintaku benar-benar oase dalam sahara luas, namun akan kujadikan ia benar-benar sungai yang menghidupkan putri pujaanku, dan keteduhan yang memberinya nyawa baru!”
Pemuda itupun memberikan ginjal, hati, dan kedua bola matanya pada pelangi kalbunya itu.
***
Mendung menyelimuti pagi, menghela fajar dan mentari, meratapkan tangis hujan di atas sebuah nisan. Seorang gadis, terbalut kain satin hitam terduduk di samping makam. Matanya adalah mata rajawali sang pemuda, hati yang menyaring darah di sekujur tubuhnya, adalah hati yang berdetak penuh cinta, sedang nuraninya kini tersayat perih memimpikan malaikat bersayap putih yang mengganti nyawanya dengan segenap cinta.
“Apakah ia pemuda yang tampan ayah?” tanya sang bidadari pada bapak bijak yang menyatukan hati sang pangeran pada raga putrinya.
“Ya anakku... ”
“Apakah ia pemuda yang mencintaiku?”
“Dengan segenap hayatnya putriku ...”
“Jika begitu, biarlah aku di sini ayah, menemaninya dalam kesendirian tidurnya yang panjang. Agar jika kelak ia bangun, ia akan melihat bunga kerinduannya yang hidup atas cintanya.”
Desau angin turut memeluk ketulusan ruh sang pria rajawali. Ia punya cinta, Angkasapun bersumpah akan saksi sebuah cerita hingga setiap jelujur awan mengguratkan sajak di hati putri bersatin hitam yang terdiam khusyuk di atas makam, setiap jiwa mendengar hymne tangisnya,
“Jangan pernah engkau berani mencinta tanpa kerelaan bagai pria rajawali yang menukar kesejatian hidup demi sebuah mimpi. Bukan impian yang sia-sia, tapi tentang keberanian untuk berkorban demi sebuah ketulusan cinta.”

poetry

Ada yang berkata kepadaku tentang sebuah berhala bernama waktu. Saat tak seorangpun sadar telah bertekuk lutut kepadanya. Karenanya hadir berbagai pengakuan tentang kelemahan insani. Tentang cita-cita, harapan, dan do’a. Bukankah setiap nyawa hendak menghadirkan surga dalam setiap pengorbanan terhadapnya? Bukan hanya dengan ketulusan setiap langkah, tapi juga pertaruhan antara rasa kecewa dan bahagia.

Dalam satu kelapangan jiwa yang paling sempurna sekalipun, tak akan bisa terdustai segala ”akhir” yang tak selamanya berjalan seperti ego yang kerap terencana. Rasa lelah itu pasti ada. Lelah untuk menunggu, lelah akan sebuah ketulusan yang hanya bagai prasasti-prasasti masa, yang hanya bisa terdiam bisu tanpa kata selain deretan aksara yang tak selamanya terbaca, meskipun ia nampak begitu nyata. Dimanakah hidup yang tanpa makhluk brengsek bernama manusia? Di manakah ruang firdaus jiwa tanpa hadirnya Berhala ”Waktu” itu?

Seraut wajah datang dan pergi atas nama persejawatan, karib, dan benci. Sejeda kenangan hadir dan tegap berdiri, atas nama kedewasaan sebuah jiwa, yang bicara tentang hidup ini indah, yang berkomedi tentang cinta adalah elegi dan hymne yang begitu nyata, yang bercerita tentang betapa agungnya kasih sayang dan kesejatian sebuah ketulusan. Omong kosongkah? Atau hanya aku yang terlalu naif mengartikah kata ”pasrah”?

Adakah yang menjawab sebuah tanya, tentang jarak antara ambisi dan kata menyerah? Atau keduanya berada diruang yang sama untuk menunggu datangnya pilihan yang tepat untuk menghadirkan keduanya? Sekuat apakah sebuah jiwa yang dimiliki hawa untuk menantang segala merah biru dan hitamnya kalbu? Atau marah dan air mata hanyalah persinggahan sementara bagi sepias ”suka” yang tidak pada tempatnya?

Jika Aku Bicara Cinta

Betapa Duniaku kabur oleh prasangka dan petuah-petuah. Cinta adalah fitrah yang kadang tak disadari bahwa ia indah, bahwa ia rasa, bahwa ia ada. Dan tak kan bisa ditepis oleh betapapun munafik nafsuya nyawa. Apa yang salah dengan semua itu? Ia hadir karena aku manusia.

“Ck...ck...ck...” Terkadang aku bergumam. Dimanakah logika? Sewaktu kecewa, rindu, benci, marah, malu, ragu, bangga, sedih, dan sepasang pipi yang bersemu merah menjadi kewajaran yang maha sempurna? Dan bagaimanapun otak dangkal duniawi menelusuri titah Ilahiyah itu, tak kan bisa tertemu pangkal dan tepiannya. Karena ia bukan sebuah teori tentang sebab akibat, bukan sarkasme untuk ungkapan sedih dan bahagia, ataupun pertemuan antara benar dan salah.

Jiwaku penat, fikirku pekat kala perempuan itu bertekuk lutut pada Esa-nya sebuah rasa. Dan akan terlantun melodi-melodi asing dalam telingaku yang tuli caci, saat orang bilang bodoh, naif, gila, dan sia-sia. Bagiku ini sepetak taman Edn dengan kautsar yang mengalir di tepinya dan kasturi, serta melati yang bagai anai-anai liar melatar belakangi tarian peri-peri kecil bercengkrama. Ya... meski di dalamnya ada begitu banyak rupa dan beberapa bagian yang kau anggap tak indah tapi bagiku ia hanyalah pelangi yang tercipta untuk meronakan surgaku. Dan aku tak akan menyesal dengan semua bagian itu.

Meskipun ada yang berkata tentang tingkah yang tak semestinya, tawaku adalah saat symfony janggal itu hadir dalam kalbu. Meski kadang tawa itu berwujud pada air mata kecewa dan cemburu. Inilah kewajaran paling fatal yang menjadi kelebihan dan kelemahan insani. Yang kadang dicaci, dipuji, diserapahi, dibenci. Dan entah dinamahi apalagi dengan istilah yang mungkin tak kan terdeskripsikan oleh wacana dan bahasa.

Pada intinya, bukan penting apapun definisi dan oase atau prosa gubahan pujangga, Karena Ia adalah cahaya yang menghidupi jiwa yang tak kan pernah sanggup terdeskripsikan kelemahan dan keterbatasan aksara.

great war

Manusia dikaruniai akal dan fikiran untuk menafakuri apa yang tercipta di hadapnya. Untuk menerjemahkan benar dan salah. Namun sekuasa apakah akal itu mengambil segala kendali logika? Ya.. sesosok musuh besar bernama nafsu dan emosi turut berperan serta? Apakah ini hanya masalah menang dan kalah? Antara emosi dan logika?

Ada hal yang dengan sekuat hati kupertaruhkan untuk mengendalikan permusuhan mereka (emosi dan logika). Sebagai juri yang adil, aku benar-benar kesulitan saat dengan segala kecurangan yang terselubung emosi itu meguasai arena jiwaku. Kuberikan semangat pada logika untuk menghentikan ego liar itu, tapi bagaikan menabur sekam pada api ia tak jua menyerah henti. Kutangisi logikaku yang tak bisa mengendalikan diri, sungguh merana nasibnya kala itu. Dan mungkin ia pun ikut menangisiku.

Aku berteriak, ingin kuhentikan semua ini, tapi sang emosi tak pernah puas akan apa yang telah diperbuatnya. Ingin kumenangkan logika, tapi ego membuatku memihak pada emosi yang keliru. Seakan-akan aku kalah, mungkin saat itu akulah juri terbodoh yang pernah ada dalam 21 tahun pertarungan tanpa henti antara mereka. Memang terkadang logika itu menang tapi selalu saja emosi itu bagaikan mendapat suplemen penambah energi dari entah situasi-siatuasi yang mendukungnya.

Perlahan-lahan kudekati emosi. Matanya tampak menantang di hadapanku. Kutantang pandangannya yang tampak nanar itu, kukira aku akan menemukan bara kebengisan yang berkobar merah, tapi hey...?!! ternyata aku salah. Sedikit terkejut ternyata kutemukan sesuatu yang lain dalam liarnya, dalam wujud gagahnya. Awalnya aku tak tahu ia apa, begitu sendu, begitu indah, dan sangat aneh. Perlahan ia mendatangiku dan mengecup hatiku, hingga mengalir air mataku, lalu ia menggenggam tanganku dalam kehangatan yang maha sempurna. Kutinggalkan ia dengan segala kepengecutanku untuk menghadapinya.

Aku berlari pada teman baikku logika. Kuceritakan padanya saat aku menemui emosi. Ia berkata “Sekian lama aku memeranginya, aku tak pernah menemukan awal dan sebabnya hingga tak kutemukan cara untuk mengalahkannya, apa yang harus aku lakukan untukmu? Telah kukerahkan segala dayaku untuk membelamu dihadapan bajingan emosi itu. Tapi kalau boleh jujur, aku sungguh sangat lelah..” Kulihat kesungguhan dalam setiap kata-katanya. Kulihat ia memang begitu lelah, begitu kalah. Sungguh tak tega aku menyuruhnya kembali membunuh emosi yang selalu gagal dilakukannya.

Dengan keberanian yang sungguh konyol, demi membantu logika kutemui kembali emosi. Aku bertekad akan menanyainya tentang apa yang membuat logika tak pernah menang melawannya. Kudapati ia sedang duduk sendiri. Kembali kutatap mata nanar itu. Perlahan ia berkedip padaku, tatapan mata itu telah berubah, ia bukanlah emosi yang aku kenal dulu, kuberanikan diri untuk bertanya, “Mengapa...?” ia menjawab. “Kau tak pernah mau adil padaku, pahal kau bisa itu. Kau tak pernah berani jujur untukku, padahal kau tahu itu. Kau selalu ingin membunuhku dengan logikamu, tapi apa kau yankin aku memang selalu bersalah dan pantas untuk kau bunuh? Padahal kau belum mengerti aku. Aku tak pernah menantang untuk memusuhimu, tapi kau yang selalu mengobarkan pertempuran dalam ruang jiwamu, Akulah amarah, akulah kecewa, dan akulah sedihmu. Tapi apa kau lupa bahwa aku juga adalah cinta, akulah sayang, akulah bahagia, Seandainya saja kau mengijinkanku berjalan bersama dengan logika, dan menjadikannya sahabat setia, kau tak perlu bersusah-susah untuk memerangiku, Benar kan..?!”

Dan aku hanya terpaku mendengar kata-katanya.

Kamis, 10 April 2008

Perjalanan Lain

Aku terjaga pada suatu purnama. Malam yang penuh dengan desau rindu pada pujaanku, berbintang ribuan sesal akan fana-fana yang terlanjur kusembah tanpa nurani sadar betapa fatal kebodohan dan naif yang kujalani.

Aku menangis, aku takut, aku menyesali setiap sepi dan rinduku. Marahku, benciku, lelahku, pada dunia yang ronanya kuukir sendiri.
Tidak begitu indah karena memang aku bukan sekedar menorehkan catatan emas yang tertutup coretan-coretan kelam dosaku.

Hatiku tempat benciku,
marahku, lelahku, pentku, hingga teriak hianatku.
Hatiku letak cintaku,
rinduku, kasihku, sayangku,
hingga ambisiku.
Tak ingin bohong padanya,
Tapi khilafku, angkuhku, nanarku,
Terkadang membuatnya hanya menjadikan raja pada satu rasa,
Egoku...
Kucari kesejatian pengasih kodrat manusiawi
Dalam sujudku, ruku'ku, dan tasbihku,
Kugapai secercah kecil damai-Mu,
Begitu kecil hingga terkadang padam
akan api kebrengsekan sifat,
Dan dengan sekuat jiwa kucari lagi...
Dan kudapati lagi,
Aku tak ingin Dia pergi kali ini...

Selasa, 08 April 2008

Untuk Seorang Sahabat

Hidup ini terkadang lucu, Kita tidak akan bisa menentukan secara tepat untuk membuat hidup kita berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tawa, canda, air mata, sedih, benci, cinta, dan segala emosi ada karena kita perlu belajar untuk menjadi manusia. Ya..!! Belajar untuk menjadi diri kita sendiri dan hidup di jalan terbaik yang bisa kita pilih. Kadang orang perlu bertindak bodoh untuk tahu bahwa ia bisa barbuat lebih pintar dari tindakan bodoh yang ia lakukan. Kadang orang perlu melihat penderitaan orang lain, untuk tahu betapa beruntung ia dengan apa yang ia miliki.

Dan kini aku tahu, apa yang kulakukan, semua hal yang kuanggap pantas untuk ku bela dan kuperjuangkan ternyata tak sebenar yang kukira. Mungkin aku salah, atau terlalu bodoh, dan mungkin sering berfikir terlalu naif tentang pengorbanan, kasih sayang, dan rasa setiakawan. Apakah ini juga salah satu proses belajar untuk menjadi manusia?

Hati adalah medan terluas yang kudapati untuk segala makna dan tempat untuk menafsirkan kata emosi. Tak akan bisa tertebak seberapa lapang dan sampai mana batas ia menerima segala kebingaran dunia. Mungkin tanpa sadar tersentuh juga sebuah hati, entah bagaimana awal mulanya hingga kadang pada akhirnya tercipta rasa sakit, kecewa, benci, dan putus asa. Tapi pada intinya adalah bagaimana hatiku dapat menyentuh hatimu tanpa akhir yang tidak kita inginkan. Dan pada kenyataannya kini, benarkah akhir itu telah sesuai dengan apa yang kita harapkan?

Setiap kali aku melihatmu, mengenang segala hal yang kita lakukan bersama, aku bagaikan menunggu hadirnya pelangi di malam purnama. Untuk bisa menggenggam erat kembali tanganmu, menangis sepuasnya di bahumu, dan bercanda bersamamu. Ah!!! Itu Cuma omong kosong tentang sebuah jiwa, tak perlu dikonotasikan dengan terlalu berbelit-belit karena sebenarnya maknanya begitu sederhana. Kemustahilan yang tak mungkin bisa tercipta dengan akal dangkal manusia. Tapi masih percayakah kita dengan kata keajaiban?? Akankah ia selalu ada layaknya dalam dongeng seribu satu malam?
Dan jikalau ia benar ada, masih bisakah hati pongah kita untuk menerimanya atau membuatnya hadir untuk kita?

Aku percaya seberkas pelangi akan hadir dalam gelap malam. Di puncaknya akan bertengger sang purnama yang dikelilingi oleh kerlip peri-peri malam.
Dan biarlah mata kita terbuka saat keajaiban itu tiba, meski hanya dalam hayalan, mimpi, dan asa.

Kamis, 27 Maret 2008

12 MARET 2008

Dua puluh satu kali mentari yang sama
Menghujam jasad yang senantiasa berjalan
ke arah-Nya
Membasuh betapapun elok segala maya
Yang tak turut mendewasa.

Ruh ini masih berkeretak dalam derik malam sepi
Menyapa buai singgasana keangkuhan manungsa
Melepuh luruh semua emosi
Dan air mata menugu berprasasti

Aku kembali...
Atas tetes demi tetes fase hidupku
Adakah lutut masih tersimpuh?
Dan Dia menerima segala kedatanganku?

Bentuklah hati selayaknya janin dalam rahim bunda
Lepas seluruh jubah dosa
Biarlah teranyam kafan putih tanpa noda
Sehelai-demi sehelai kukumpulkan sutra...

Untitled

Lavender tidak akan seagung mawar yang membawa makna cinta, ataupun melati yang menyerbak kesucian malam. Namun kupu-kupu hanya akan menghinggapi sang Mahkota yang terindah bukan pada alang-alang kecil yang kasat mata.
Selaksa buih yang menggapaigapai samudra, deburan ini akan membunuhku. Tapi saat pelupuk mata ini nanar akan menyentuh sayap malaikat yang tersenyum kearahku, aku bukanlah mawar dan tidak pula melati itu.
Nurani ini sadar sebuah kebisuan tak akan mengubah gelak peristiwa dan lambaian kecilku tak akan mengundang ia datang. Sepenumpu pasak hayatku menyedarkan tentang hal ini. Selamanya lavender itu akan tetap berwarna ungu, dan tak akan pernah berubah semerah mawar atau seputih melati. Karena biar rengkuhan sayapnya tak sampai padaku, aku tetaplah lavender kecil itu.
Saat masa lain akan datang, sadar bahwa aku tak seagung mawarnya, atau tak seputih melatinya, bentang kisah ini tak akan pernah patah. Karena aku akan tegak di sini menemani derap kecil langkah yang terdengar sayup di ujung muara , serta isak sang ia sebelum akhirnya lavender kecil itu menyerah!!!

Selasa, 25 Maret 2008

Sebuah Puisi

Jika hening malam ini adalah suatu elegi,
Biarlah angin membawa salam rinduku pada Dia yang terkasih.
jika gelap malam ini adalah symfoni,
Maka biarlah gemerlap bintang menghymnekan debar cintaku pada satu lagu,
Tentang hidup,
Tentang asa dan air mata,
Bahagia dan Luka,
Jika rendezvous malam ini adalah suatu memory,
Biarlah mataku tetap terjaga hingga fajar datang lagi...

here is khoir's zone

wanna know all about me ??!!!