Selasa, 15 Juli 2008

feel...

Sebuah sajak berkisah tentang Matahariku
Saat ia terik, saat ia sayu
Saat sedikit demi sedikit cahaya bintang
Mengganti singgasananya
Angkasa ini adalah nyawaku
Dan saat mentari menjelmakan hatiku
Bintang perempuanku tersenyum sendu
Setinggi apapun, seterik apapun, ia ada
Suatu ketika malam akan menggantinya
Aku ingin kalbu sang hawa mngerti
Tentang pesona purnama yang tersembunyi
Karenanya...
Kutulis sajak tentang matahari egoku
Tentang bintang jiwaku
Purnamanya hidupku
Dan semesta kisahku

"be.."

Hati manusia takkan tahu segala nyawa selain Dia dan bisik kecil nurani saat sekejap memejamkan mata. Orang bilang Tuhan lain bernama “ambisi” memberhalai kalbu yang dengan sekuat hati ku tundukkan. Apakah belum cukup rasa yang dimiliki manusia hingga tiada satupun makluk yang menduai gelagatnya.
Sesuatu yang kuyakini Maha menjadi Sandar segala lemah makhluk, dan sebuah suara berkata padaku dalam hening malam ini. Apalah arti tawa dan air mata jika bukan karena sebuah kisah yang membuatnya ada. Juga menang dan kalah, bahkan kata benar dan salah.

alone...



Aku melukis sebuah rona hati dalam kata-kata. Dalam kepenatanku bersuara, dalam degup jantungku yang tak lagi berirama, dalam igauan yang meracau tanpa sadar tentang luapan jiwa.

Dari manakah datangnya sebuah ruh yang memaksaku sujud menghamba, tak hanya pada sang Kudus yang semestinya? Makhluk bernama cinta adalah jantung bagi darah Adam dan Hawa.

Oh.. aku muak dengan segala aksara. Aku bosan dengan indah majas dan metafora. Tapi aku harus bagaimana? Sedangkan setiap bait ini adalah anak sungai emosi yang mengalir pada sabda samudra hati.

Puisiku, ijinkan kau bercerita tentang jelitanya rindu, tentang semilir dan desau-desau haru akan hidupku,
Kisahku...
Nafasku,...
Langkahku...,
Matiku...,
Dan kau akan menjadi kiblat dalam kepongahan manusiawi. Agar kau mampu menghujatku, melempar cela dan sumpah, biarkan aku bicara pada kertas putih tanpa noda.

Sajakmu adalah jiwaku, Ia adalah paradise emosiku. Dan bagaimana Ia ada, aku tak pernah tahu, hanya saja goresan-goresan tinta ini adalah cermin bagi segala caci maki, dan kebencianku entah pada sosok dengan mata berkaca-kaca, atau perasaan aneh yang tak pernah kumengerti Ia apa, dan jemari yang memegang pena hingga tercipta berderet omong kosong tentang munafiknya sepi.

Pujangga itu adalah musafir dalam kedahagaannya akan pelampiasan beribu marah dan sedih, juga curiga serta prasangka. Mungkin aku adalah dia, meski hanya sementara. Ah...!! siapa yang begitu bodoh untuk menanti pagi sedang purnama sungguh indah begini?

Selasa, 01 Juli 2008

HAPPYNESS

Aku bertemu seorang peempuan. Ia mengaku bernama kesedihan. Saat kulihat ia hadir ke arahku, dan kubiarkan kami berkenalan, ternyata aku sedikit menyesal, karena ia begitu membuatku tidak nyaman. Dengan tangan kekecewaan yang menamparku tanpa ampun, dan sorot mata putus asa yang menghujam tepat dalam jantung manusiaku. Aku ingin ia pergi. Dan dengan sekuat hati aku berusaha mengusirnya. Tapi sayangnya, ia tak mudah untuk aku jauhi.

Sampai akhirnya kutemukan pula sosok yang serupa bernama bahagia. Sekilas wajah mereka sama. Awalnya aku bahkan mengira mereka adalah saudara kembar (antara kesedihan dan bahagia). Setelah sekilas aku mengenal kesedihan, dengan berusaha untuk adil, kuperkenalkan pula diriku pada bahagia. Dan... Oh Tuhan..!! Ia begitu indah, hingga akhirnya ia mengaku bahwa kesedihan adalah saudara kandungnya (tepat kan... dugaanku..?!).

Memang ada beberapa persamaan dari mereka. Kadang-kadang mereka sama-sama dapat membuatku meneteskan air mata, menjerit, bahkan melakukan hal-hal yang konyol lainnya. Tapi menurutku mereka berbeda. Itu awalnya... (Sebelum aku mengenal mereka lebih dekat lagi).

Aku selalu ingin menjauhkan diri dari kesedihan. Bagiku, sepertinya akan lebih menyenangkan saat aku bersahabat dengan temanku bahagia. Karena begitu kesedihan menyentuhku, ia selalu membuat hatiku sakit. Tapi anehnya, bahagia selalu saja membela saudaranya itu. Setiap kali bahagia datang padaku, dia selalu menceritakan tentang titik balik dari dirinya sendiri, yaitu kesedihan. Sepertinya mereka benar-benar saudara yang sangat akur,

Suatu ketika bahagia hendak pergi untuk sementara. Dia berkata padaku “Jaga dirimu baik-baik, dan tenang saja, kau tidak akan kesepian, karena saudaraku sewaktu-waktu akan datang padamu. Aku harap kita akan segera bertemu...” Lalu kukatakan padanya “Sebenarnya aku tak ingin kau pergi, daripada aku harus bersama dengan saudaramu kesedihan itu, lebih baik aku sendirian saja..”
“Katakan padaku..!! apa kau ingin mengenalku lebih jauh? Agar kau tahu jati diriku yang sebenarnya?” tanya bahagia. “Tentu saja !!” jawabku.
“Aku akan memberimu sebuah pilihan, kau akan mengenalku lebih jauh, dan dapat memilikiku selama apapun yang kau mau, asal kau beri waktu bagi saudaraku kesedihan untuk bersahabat denganmu, atau kau akan menyesal karena aku tak bisa lama berada di sisimu jika setiap saat bersamaku, kau selalu takut pada saudaraku itu.. Bagaimana?”
“Hm.. pilihan yang sangat sulit, tapi baiklah. Agar kau tahu bahwa aku benar-benar ingin kau selalu ada disisiku, aku akan mencoba saranmu, aku akan memberanikan diri untuk berada di dekat kesedihan, bahkan jika aku harus menyentuh tubuhnya.”

Awalnya aku merasa takut, ragu dan was-was saat bahagia mulai meninggalkanku, takut akan kesedihan yang aku benci. Tapi aku harus mencoba untuk menepati janjiku pada bahagia. Kubiarkan kesedihan hadir di dekatku. Meskipun kesedihan lebih sering membuatku menangis, dan selalu menyakitiku, aku mencoba untuk sabar padanya. Hingga suatu ketika aku bertanya kepadanya “Kenapa kau berbeda sekali dengan saudaramu, bahagia? Dan kenapa kau selalu membuatku sakit?”
Ia tersenyum padaku lalu menjawab “Hei... kata siapa aku selalu menyakitimu? Itu kan menurutmu. Apa kau tidak pernah sadar, bahwa kaulah yang selalu memandangku dengan cerminan dari saudaraku bahagia, Meskipun pakaian kami tak sama, meskipun bahagia tampak begitu indah bagimu, Dia tak kan pernah ada tanpa kau memandangku. Begitupun aku, kau tak akan memandang buruk aku jika bukan karena kau terlalu terpesona dengan penampilan saudaraku itu kan? Pernahkah kau menyadari bahwa sesungguhnya kami adalah saudara kembar? Jika kau memandangku seumpama sosoknya, maka aku adalah bahagia, sebaliknya jika kau selalu memandang buruk diriku, selamanya kau hanya akan mendapati bayang-bayang bahagia dari ketidak sukaanmu padaku.”
“Apa maksudmu?” tanyaku
“Sahabatku, jangan sampai kau terlalu terpesona dengan saudaraku bahagia tanpa menyadari bahwa ia punya saudara kembar yaitu aku, kesedihan. Bersyukurlah..!! dan pandanglah kami dengan adil. Jika suatu saat aku mendatangimu, maka adalah tugasku untuk megajarimu tentang jati diri bahagia, yaitu bagaimana caramu memandang diriku, seabagai dirinya, dengan begitu kau akan selalu mendapati sahabat faforitmu bahagia di dekatmu. Satu hal yang harus kau ingat, bahwa kami adalah saudara kembar...??!!”

Kurenungi kata-katanya, dan saat kucoba untuk memandang sorot mata kesedihan sebagai salah satu sisi dari bahagia, Ku dapati sahabat yang kurindukan itu memandang balik ke arahku...