Minggu, 22 Juni 2008

"..."

Tiada yang mampu menafsirkan makna sebuah kata, hanya bahasa angkasa yang membirukan setiap debaran hati, meronakan mata dan pipi setiap kali sayap malaikat yang berwujud cinta menorehkan rasa yang terukir di dasar nurani setiap nyawa.
Ia adalah rajawali bagi setiap bidadari yang memandangnya. Sebuah karya sempurna bagi pencipta yang maha bisa. Namun apa yang selalu diperbuat hati yang terselubung wujud Adam ini? Ia adalah manusia yang tunduk pada titah Tuannya, pemilik semesta raya.
“Wahai angkasa yang tak pernah berdusta, apa yang kau lukiskan dalam kalbuku? Seorang Hawa selalu membayangiku, membirukan setiap debaran dalam jantungku. Wahai angin yang mampu menembus Mega, bawalah salamku padanya.”
Ia, sang pria Rajawali itu telah menjatuhkan hati nuraninya pada seorang bunga muda yang kini bayangannya kerap menari pada ujung pelupuk mata sang Pujangga.
Angin menghela napasnya dan membelai tubuh kekar itu.
“Apa yang kau rajukkan anakku?Lihatlah! malampun turut akan kesedihanmu. Ia tiada berbintang dan tak pula berpurnama.” Sapa wanita paruh baya yang hampir dua puluh tahun memerah cintanya demi sosok yag kini terduduk diam, tepekur dalam kerinduannya.
“Ibu, apakah Cinta itu? Haruskah bersyukur aku sembah sujud pada sang Pencipta? Karuniakah ini ibu? Mengapa dada ini sesak jika terbuai mimpi akan wajah yang sekilas hadir itu ibu? Sungguh sangat sakit rasanya.”
“Nak impian itu adalah sebuah oase di padang ambisimu, kau dapat meraihnya jika kau percaya pada kuasa tanganmu untuk meraihnya. Begitipun cinta, tak akan bisa kau raih tanpa kau pijakkan kakimu ke arahnya.!”
Wanita itu berbalik muka dan meninggalkan lelaki itu sendirian.
****
Fajar meronakan wajah pagi, selaksa angan sang Adam yang membumbung tinggi. Laki-laki itu melenggang ke arah firdaus impiannya. Sebuah rumah megah dengan seribu rupa bunga yang memagarinya .
“Aku datang... “ kata sang lelaki pada pria paruh baya. Sosok seorang ayah yang teramat cinta pada anaknya.
“Apa kehendakmu pria miskin?”
“Aku ingin putrimu.. ”
“Apa yang kau bawa?”
“Aku membawa serta oase dalam padang ambisiku. Inilah impian dan cintaku!”
“Pergilah pemuda yang baik. Tak ada seorangpun manusia yang ingin menyakiti darah dan dagingnya, sedang ia yang kau pinta tak akan ku berikan hanya dengan omong kosong tentang mimpi dan cinta!”
“Aku mohon ampun bila datang, apa yang kau pinta wahai pemilik bidadari yang menghela pelangi dalam kalbuku? ”
“Anak muda, kau tak akan menginginkan oase di gurun pasir bukan? Karena ia tidak nyata, begitupun akan putriku, kau hanya sekilas bertatap muka padanya.”
“Jika paduka yang bijaksana percaya akan cinta, hamba adalah sahaya yang tunduk di depannya. Aku mencintai putrimu!”
Bapak tua itu tak memberi acuh pada sang Pemuda, ditinggalkannya pemuda itu dengan seribu gejolak akan kerinduannya. Pemuda itu kini berlutut di depan gerbang pujangga hatinya dengan sayu.
“Tuan, benarkah kau mencintainya?” Sahut seorang baya padanya.
“Dengan sepenuh kalbuku bibi, seluruh hayatku, dan segenap ragaku!”
“Kalau begitu kau tak kan keberatan memberikan sebuah ginjalmu padanya?Karena asal kau tahu, nyawanya ada di ujug pedang, Kau tak ingin ia beralih ke alam baka bukan?”
“Tentu tidak! Aku sangat mencintainya. Baiklah bibi, aku akan kembali ketika fajar mengalah pada mentari pada esok yang baru!”
Ibu baya itu tersenyum ramah, ketika sang pemuda beralih langkah meninggalkan belahan jiwanya.
***
Fajar yang dinantipun tiba, pemuda itu kembali dengan langkah pasti akan ketulusan hatinya. Bapak bijak itupun keluar untuk menemui pemuda itu lagi,
“Apa yang kau inginkan pemuda baik?” Tanyanya
“Aku ingin putrimu,”
“Jika kau bukan tuli, tak kan ku ulang kata-kataku, jawabku sama!”
“Tuan yang bijak, aku datang membawa oase dalam padang ambisiku, inilah impian cinta, dan ragaku!”
“Aku akan menyesali kata-katamu anak baik!”
“Tidak! Jika putrimu butuh ginjalku maka ambillah dan selamatkan ia dari ujung pedang maut yang hendak mengalihkannya ke alam baka!”
“Satu ginjalmu tak akan menggeser kakinya menjauh dari maut pemuda baik, putriku butuh lebih dari sebuah ginjal!”
Pemuda itu khusyuk dalam setiap kata-kata bapak bijak itu.
“Jika kau benar-benar mencintainya dan ingin mengalihkannya dari jurang maut dan memindahkannya ke peraduan hidup yang sempurna, kau harus memberikan nyawamu padanya!”
“Jika kau inginkan seluruh tubuhku tuan, Ambillah pedangmu dan hunuskan di sekujur tubuhku hingga aku bisa membawa putrimu ke peraduan indah itu!”
“Anakku, asal kau tahu saja, putriku bukan hanya butuh ginjal, tapi dia butuh hati dan kedua matamu... ” Ratap sang Ayah.
“Kiranya cintaku benar-benar oase dalam sahara luas, namun akan kujadikan ia benar-benar sungai yang menghidupkan putri pujaanku, dan keteduhan yang memberinya nyawa baru!”
Pemuda itupun memberikan ginjal, hati, dan kedua bola matanya pada pelangi kalbunya itu.
***
Mendung menyelimuti pagi, menghela fajar dan mentari, meratapkan tangis hujan di atas sebuah nisan. Seorang gadis, terbalut kain satin hitam terduduk di samping makam. Matanya adalah mata rajawali sang pemuda, hati yang menyaring darah di sekujur tubuhnya, adalah hati yang berdetak penuh cinta, sedang nuraninya kini tersayat perih memimpikan malaikat bersayap putih yang mengganti nyawanya dengan segenap cinta.
“Apakah ia pemuda yang tampan ayah?” tanya sang bidadari pada bapak bijak yang menyatukan hati sang pangeran pada raga putrinya.
“Ya anakku... ”
“Apakah ia pemuda yang mencintaiku?”
“Dengan segenap hayatnya putriku ...”
“Jika begitu, biarlah aku di sini ayah, menemaninya dalam kesendirian tidurnya yang panjang. Agar jika kelak ia bangun, ia akan melihat bunga kerinduannya yang hidup atas cintanya.”
Desau angin turut memeluk ketulusan ruh sang pria rajawali. Ia punya cinta, Angkasapun bersumpah akan saksi sebuah cerita hingga setiap jelujur awan mengguratkan sajak di hati putri bersatin hitam yang terdiam khusyuk di atas makam, setiap jiwa mendengar hymne tangisnya,
“Jangan pernah engkau berani mencinta tanpa kerelaan bagai pria rajawali yang menukar kesejatian hidup demi sebuah mimpi. Bukan impian yang sia-sia, tapi tentang keberanian untuk berkorban demi sebuah ketulusan cinta.”

Tidak ada komentar: