Minggu, 22 Juni 2008

great war

Manusia dikaruniai akal dan fikiran untuk menafakuri apa yang tercipta di hadapnya. Untuk menerjemahkan benar dan salah. Namun sekuasa apakah akal itu mengambil segala kendali logika? Ya.. sesosok musuh besar bernama nafsu dan emosi turut berperan serta? Apakah ini hanya masalah menang dan kalah? Antara emosi dan logika?

Ada hal yang dengan sekuat hati kupertaruhkan untuk mengendalikan permusuhan mereka (emosi dan logika). Sebagai juri yang adil, aku benar-benar kesulitan saat dengan segala kecurangan yang terselubung emosi itu meguasai arena jiwaku. Kuberikan semangat pada logika untuk menghentikan ego liar itu, tapi bagaikan menabur sekam pada api ia tak jua menyerah henti. Kutangisi logikaku yang tak bisa mengendalikan diri, sungguh merana nasibnya kala itu. Dan mungkin ia pun ikut menangisiku.

Aku berteriak, ingin kuhentikan semua ini, tapi sang emosi tak pernah puas akan apa yang telah diperbuatnya. Ingin kumenangkan logika, tapi ego membuatku memihak pada emosi yang keliru. Seakan-akan aku kalah, mungkin saat itu akulah juri terbodoh yang pernah ada dalam 21 tahun pertarungan tanpa henti antara mereka. Memang terkadang logika itu menang tapi selalu saja emosi itu bagaikan mendapat suplemen penambah energi dari entah situasi-siatuasi yang mendukungnya.

Perlahan-lahan kudekati emosi. Matanya tampak menantang di hadapanku. Kutantang pandangannya yang tampak nanar itu, kukira aku akan menemukan bara kebengisan yang berkobar merah, tapi hey...?!! ternyata aku salah. Sedikit terkejut ternyata kutemukan sesuatu yang lain dalam liarnya, dalam wujud gagahnya. Awalnya aku tak tahu ia apa, begitu sendu, begitu indah, dan sangat aneh. Perlahan ia mendatangiku dan mengecup hatiku, hingga mengalir air mataku, lalu ia menggenggam tanganku dalam kehangatan yang maha sempurna. Kutinggalkan ia dengan segala kepengecutanku untuk menghadapinya.

Aku berlari pada teman baikku logika. Kuceritakan padanya saat aku menemui emosi. Ia berkata “Sekian lama aku memeranginya, aku tak pernah menemukan awal dan sebabnya hingga tak kutemukan cara untuk mengalahkannya, apa yang harus aku lakukan untukmu? Telah kukerahkan segala dayaku untuk membelamu dihadapan bajingan emosi itu. Tapi kalau boleh jujur, aku sungguh sangat lelah..” Kulihat kesungguhan dalam setiap kata-katanya. Kulihat ia memang begitu lelah, begitu kalah. Sungguh tak tega aku menyuruhnya kembali membunuh emosi yang selalu gagal dilakukannya.

Dengan keberanian yang sungguh konyol, demi membantu logika kutemui kembali emosi. Aku bertekad akan menanyainya tentang apa yang membuat logika tak pernah menang melawannya. Kudapati ia sedang duduk sendiri. Kembali kutatap mata nanar itu. Perlahan ia berkedip padaku, tatapan mata itu telah berubah, ia bukanlah emosi yang aku kenal dulu, kuberanikan diri untuk bertanya, “Mengapa...?” ia menjawab. “Kau tak pernah mau adil padaku, pahal kau bisa itu. Kau tak pernah berani jujur untukku, padahal kau tahu itu. Kau selalu ingin membunuhku dengan logikamu, tapi apa kau yankin aku memang selalu bersalah dan pantas untuk kau bunuh? Padahal kau belum mengerti aku. Aku tak pernah menantang untuk memusuhimu, tapi kau yang selalu mengobarkan pertempuran dalam ruang jiwamu, Akulah amarah, akulah kecewa, dan akulah sedihmu. Tapi apa kau lupa bahwa aku juga adalah cinta, akulah sayang, akulah bahagia, Seandainya saja kau mengijinkanku berjalan bersama dengan logika, dan menjadikannya sahabat setia, kau tak perlu bersusah-susah untuk memerangiku, Benar kan..?!”

Dan aku hanya terpaku mendengar kata-katanya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus bgt tulisannya Jeng! kata2 yang digunakan walaupun kiasan tapi mudah dimengerti dan kita busa belajar dari cerita tersebut, wah emang tipul oks bgt!

Rendra & Urakom mengatakan...

Entah bagaimana aku mau memberikan komentar, karena menyimpulkan suatu tulisan yang menjadi sebuah kata-kata yang saling bertautan sehingga bisa menentukan kalimat-kalimat yang tentunya sarat dengan arti daripada tulisan itu sendiri. Tidak sulit memang memberikan komentar, tapi menurut aku sendiri perlu mencerna apa sebenarnya maksud dan tujuan dari tulisan itu. Oke ful, aku harus mencari sebuah ispirasi dahulu, tidak perlu terburu-buru dalam mengeluarkan kata-kata (ojo grusa grusu orang jawa bilang).